Senin, 21 Mei 2012

Hutan Indonesia


Pantau Langsung Hutan Indonesia

Hutan tropis Indonesia adalah salah satu yang tersisa di dunia. Namun, tanpa pengelolaan arif, dikhawatirkan tutupannya akan terus berkurang


Sangat miris mendapati kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara produsen karbon terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan China. Lebih parah lagi, kedua negara tadi melepas karbon sebagai akibat dari kegiatan industri, sementara negara kita dikarenakan kerusakan hutan.
Hal ini menjadi salah satu titik tolak Rhett A. Butler, pemilik situs Mongabay sekaligus seorang pemerhati lingkungan untuk merilis situs Mongabay-Indonesia (www.mongabay.co.id) pekan lalu (19/05). “Saya beruntung memiliki orang tua yang berbisnis di bidang agensi perjalanan sehingga sejak kecil dapat melihat berbagai keindahan di dunia, termasuk hutan-hutan tropis,” paparnya dalam pembukaan situs yang berlangsung di salah satu mal ternama di Jakarta. 
Sayang, dalam perkembangannya, lanjut Butler, banyak terjadi perubahan atas kondisi hutan-hutan yang pernah ia lihat. Saat ingin menuliskan keberadaan hutan di dunia dalam bentuk buku, pihak penerbit menyarankan agar Butler membuatnya tanpa menyertakan foto-foto mengingat berbagai perubahan telah terjadi.
Inilah titik tolaknya menggagas situs Mongabay pada 1999. Lengkap dengan potret keberagaman hutan. Dalam perkembangannya, layanan pun menjadi multi bahasa, tidak sebatas bahasa Inggris. Seperti tagalog (Filipina) dan magyar (Hongaria).
Bahasa kita, juga menjadi perhatiannya, utamanya mengingat kondisi hutan Indonesia semakin memprihatinkan. “Lewat situs informasi dan edukasi Mongabay-Indonesia, kondisi hutan kita dipaparkan secara transparan,” tambah Ridzki R Sigit, koordinator Mongabay-Indonesia. “Selain isu hutan dan emisi Indonesia, kami juga menyajikan informasi seputar keanekaragaman hayati serta pertanian.”
Harapannya, dengan kehadiran situs hijau ini seluruh masyarakat Indonesia dapat turut  memantau keberadaan hutan bahkan turut memberikan kontribusi positif untuk mempertahankan tutupan hutan tropis kita. Apalagi, saat peresmian situs Mongabay-Indonesia juga diputar sebuah film dokumenter bertajuk "Masyarakat Adat, Penjaga Hutan Sejati Indonesia."
Sejatinya, kita mesti merasa bangga, bahwa hutan tropis Tanah Air merupakan salah satu yang tersisa di dunia. Namun di sisi lain, tanpa pengelolaan secara arif, dikhawatirkan tutupannya akan terus berkurang. Saat ini, Papua merupakan kantong hutan terbesar di Indonesia, sedangkan Jawa—sebagai pulau terpadat di dunia—merupakan daerah dengan hutan paling sedikit, jumlahnya hanya lima persen dibanding daratannya.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/pantau-langsung-hutan-indonesia

Alat Deteksi Gunung Meletus


Gempa Vulkanik Dijadikan Alat Deteksi Gunung Meletus

Sejauh ini, upaya untuk memanfaatkan guncangan vulkanik sebagai pendeteksi waktu dan kekuatan letusan gunung berapi selalu gagal



Gempa bumi sering kali menjadi pertanda letusan gunung berapi, contohnya seperti yang terjadi di gunung St. Helens, Amerika Serikat, pada tahun 1980 lalu. Namun, upaya selama berdekade-dekade untuk memanfaatkan guncangan itu sebagai pendeteksi waktu dan kekuatan letusan gunung berapi terbukti gagal.
Tetapi kini sejumlah peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah mengembangkan model yang bisa membantu memberi peringatan akan letusan berbahaya, beberapa jam sebelum terjadi. Dari studi yang dilakukan para peneliti dari University of Leeds, Inggris tersebut, diketahui bahwa jawabannya ada di bagaimana perilaku magma.
Magma akan terpecah jika ditarik dengan cepat. Saat naik di dalam saluran utama gunung berapi, magma akan membuat retakan-retakan dalam. Retakan ini melumerkan magma, membantunya terpecah di titik-titik lain, mengalir lebih cepat, dan menyebabkan semakin banyak pelumeran terjadi.
Deretan kejadian pecahnya magma dapat menjelaskan gelombang gempa bumi berfrekuensi rendah yang pada penelitian-penelitian terdahulu telah terdeteksi dari gunung berapi. “Analisa terhadap guncangan-guncangan ini dapat menentukan seberapa cepat magma bergerak naik dan kemudian bisa ditentukan untuk memprediksi letusan,” kata Jurgen Neuberg, geofisikawan dari University of Leeds yang memaparkan laporannya di jurnal Geology.
Sebuah model kemudian dikembangkan oleh tim lain mengingat guncangan yang diakibatkan oleh magma yang berada di rongga-rongga gunung bergerak bolak balik seperti memantul-mantul. Menurut Mark Jellinek, ketua tim peneliti yang merupakan volkanolog dari University of British Columbia, kecepatan magma bergoyang juga sama dengan frekuensi dominan sebagian besar guncangan vulkanik.
Saat letusan dahsyat semakin dekat, model yang dibuat mengindikasikan bahwa frekuensi guncangan vulkanik akan meningkat dalam pola yang bisa diprediksi. Letusan eksplosif akan menghasilkan gas yang akan menyempitkan kolom magma menjadi lebih tipis, kaku, dan bergetar lebih cepat.
Kedua tim peneliti menyatakan, mereka akan terus memperbaiki pemodelan yang mereka buat dengan menambahkan data-data dari gunung berapi. Upaya untuk memprediksi letusan eksplosif di masa depan akan melihat pula faktor perubahan pada emisi gas serta bagaimana gunung berapi berubah secara fisik sebelum letusan terjadi.
“Jika kita bisa memanfaatkan seluruh data-data ini secara bersama-sama, kita kemungkinan bisa mencegah datangnya tragedi,” kata Neuberg.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/gempa-vulkanik-dijadikan-alat-deteksi-gunung-meletus

Teori baru Punahnya Dinosaurus


Teori Baru Punahnya Dinosaurus

Sampai saat ini, hantaman asteroid dan aktivitas vulkanik sekitar 65 juta tahun lalu disebut-sebut sebagai penyebab punahnya dinosaurus.


Dari sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti asal Inggris, disimpulkan bahwa gas metana yang dikeluarkan oleh dinosaurus-lah yang menyebabkan punahnya hewan raksasa tersebut. Menurut kalkulasi, makhluk prasejarah itu telah menghembuskan lebih dari 520 juta ton metana per tahun ke udara. Angka ini cukup untuk menghangatkan planet Bumi dan mempercepat kepunahan mereka sendiri.
Sampai saat ini, hantaman asteroid dan aktivitas vulkanik sekitar 65 juta tahun lalu disebut-sebut sebagai penyebab punahnya dinosaurus. Namun, dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Current Biology tersebut, sauropod raksasa pemakan tanaman merupakan spesies yang dituduh sebagai penyebabnya.
Sebagai gambaran, seekor argentinosaurus berbobot sekitar 90 ton dan memiliki panjang 42 meter, rata-rata mengonsumsi setengah ton tanaman pakis per hari. Dia akan memproduksi banyak metana saat ia menguraikan makanan tersebut di saluran pencernaan, lalu mengeluarkan gas tersebut lewat saluran pembuangan.
Untuk itu, professor Graeme Ruxton dari St. Andrews University, Skotlandia dan peneliti David Wilkinson dari Liverpool John Moores University, coba menghitung seberapa banyak gas rumah kaca yang diproduksi oleh miliaran ekor dinosaurus sepanjang era Mesozoikum yang dimulai 250 juta tahun lalu.
“Menggunakan model matematika sederhana, diketahui bahwa mikroba yang tinggal di dalam tubuh dinosaurus sauropod telah memproduksi metana dalam jumlah yang cukup untuk menghadirkan efek signifikan bagi iklim era Mesozoikum,” kata Wilkinson. “Bahkan, perhitungan kami mengindikasikan bahwa dinosaurus ini menghasilkan metana jauh lebih banyak dibandingkan dengan gabungan seluruh metana yang diproduksi oleh alam dan manusia masa kini,” ucapnya.
Produksi metana para dinosaurus yang mencapai 520 juta ton per tahun sebanding dengan emisi gas rumah kaca produksi alam dan akibat ulah manusia saat ini. Jumlahnya, menurut para peneliti, sekitar 21 kali lebih kuat dibandingkan dengan CO2 dalam memerangkap suhu panas di permukaan Bumi dan menyebabkan perubahan iklim. Sebagai perbandingan, sapi dan hewan-hewan ternak yang ada di seluruh dunia saat ini hanya memproduksi 100 juta ton metana per tahun.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/teori-baru-punahnya-dinosaurus

Subak di Bali memiliki nilai Budaya luar biasa


Subak di Bali Diakui Sebagai Warisan Budaya Dunia
Subak memiliki nilai budaya luar biasa, yang masih bisa ditunjukan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat Bali.

Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuwan, dan Budaya, UNESCO, mengakui budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia. Subak dianggap sebagai sistem irigasi yang dapat mempertahankan budaya asli masyarakat Bali. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Windu Nuryanti, mengutarakan bahwa sistem pengairan Subak dari masyarakat Bali telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (World Heritage).
Masih menurut Windu, keputusan resmi akan ditetapkan melalui sidang ketok palu di St Petersburg, Rusia, di 20 Juni 2012 mendatang. "Bahwa budaya Subak ini dianggap memiliki Outstanding Universal Values. Jadi memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat di Bali. Subak adalah sistem kehidupan yang masih diikuti oleh masyarakat," kata Windu.
Ia pun menambahkan, Subak dinilai menciptakan perekat sosial pada masyarakat Bali. Sebelumnya beberapa jenis warisan budaya Indonesia telah diakui oleh UNESCO, di antaranya batik, keris, Candi Prambanan, juga alat musik angklung serta karinding.
Penetapan Subak ini bertepatan dengan 40 tahun Konvensi Warisan Budaya Dunia. Konvensi yang dimulai pada tahun 1972 ini merupakan fakta internasional untuk melestarikan budaya dan warisan alami yang tersebar di penjuru dunia.
Fakta ini berbeda dengan perjanjian internasional lainnya. Karena mengakui adanya interaksi manusia dengan alam dan bagaimana cara menyeimbangkan keduanya. Untuk perayaan istimewa tahun ini, Konvensi Warisan Budaya Dunia merayakan pembangunan berkelanjutan dan peran dari komunitas lokal.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/subak-di-bali-diakui-sebagai-warisan-budaya-dunia

Minggu, 20 Mei 2012

Pergerakan Pasir di Planet Mars


Pergerakan Pasir di Planet Mars

Hal ini terbilang istimewa karena pergerakan pasir di Mars nyaris menyerupai pergerakan di Bumi.



Perangkat angkasa milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Mars Reconnaissance Orbiter, merekam pergerakan pasir di permukaan Planet Mars. Peristiwa ini terbilang mengejutkan karena kondisi cuaca dan atmosfer planet merah itu.
Mars memiliki atmosfer yang lebih tipis dari Bumi. Kecepatan angin di Mars juga jauh lebih lemah dan jarang. Namun, pergerakan pasir di Mars nyaris menyerupai pergerakan di Bumi.
Pergerakan ini direkam oleh High Resolution Imaging Science Experiment (HiRISE) yang terdapat di Mars Reconnaissance Orbiter. Disimpulkan dalam jurnal Nature yang dirilis Rabu (9/5), gundukan pasir tersebut memiliki ketebalan 61 meter dan bergerak sejajar dengan permukaan Mars.
"Penemuan ini akan membantu para peneliti untuk memahami perubahan kondisi Mars dalam skala global," ujar Kepala Program Eksplorasi Mars NASA Doug McCuistion. Selain itu, kata McCuistion, pemahaman terhadap permukaan Mars yang dinamis akan jadi informasi penting dalam perencanaan eksplorasi Mars. Baik menggunakan robot maupun misi pengiriman manusia.
Para peneliti menganalisa foto yang diambil di tahun 2007 dan 2010 di wilayah Nili Patera, gundukan pasir berlokasi di dekat garis khatulistiwa Mars. Dengan menghitung gerak lapisan, disimpulkan jika gundukan tersebut benar bergerak. Gerakan ini akhirnya memungkinkan pengukuran volume dan aliran pergerakan pasir.
"Kami memilih Nili Patera karena tahu ada pergerakan pasir di sana yang bisa kami ukur. Gundukan pasir di sana juga mirip dengan gundukan di Antartika dan beberapa lokasi lainnya di Mars," ujar Nathan Bridges, peneliti dari Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory.
Hasil studi ini juga memperkaya informasi mengenai pengikisan batu oleh pasir di Mars. Dengan memperhitungkan volume pasir yang bergerak, para peneliti memperkirakan bebatuan di Nili Patera akan terkikis layaknya bebatuan di Antartika.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/terdeteksi-pergerakan-pasir-di-planet-mars